BERISLAM DENGAN HUKUM
Keberadaan islam di tengah – tengah manusia merupkan sebuah anugrah terindah yang diberikan Alloh kepada manusia. Dengan islam itulah manusia akan mampu mencapai sebuah kebahagiaan tertinggi serta mampu menggali setiap potensi dalam diri dalam beraktivitas. Dengan begitu keberadaan Islam pada hakekatnya adalah sebuah sistem nilai dalam kehidupan bermasyarakat ( muslim ), Oleh karenanya istilah islam sering disebut sebagai Ad – dien atau dinnul islam. Kalimat ad – dien itu sendiri sebenarnya bukanlah berarti agama. Tetapi jumhur ulama mengatakan arti ad – dien adalah nidhomul hayyah, yakni sebuah nilai ( value ) yang dijadikan parameter dalam pergaulan hidup manusia ( pedoman hidup ).
Sehingga Islam sebagai pedoman hidup diharapkan dapat menjadi sebuah alat guna merekayasa setiap kehidupan bermasyarakat. Keberadaan islam sebagai sebuah sistem nilai inilah yang kemudian menjadikan islam identik dengan syari’at. Dalam hal inipun para sarjana muslim menempatkan setiap syari’at dalam islam sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan, meliputi ; Aqidah, Akhlaq, ibadah, mu’amalah dan jinayah ( pemidanaan). Pengelompokan ini dimaksudkan sebagai sebuah penekanan bahwa di dalam ajaran islam pada dasarnya semua merupakan sebuah hukum, dimana hukum tersebut mengandung ketentuan yang membolehkan atau melarang seseorang dalam melakukan setiap perbuatan. Ketaatan seorang muslim kepada syari’at ini merupakan sebuah keharusan. Hal ini ditegaskan oleh beberapa ulama ahli fiqh terkait tentang subjek atau siapa saja yang berkewajiban menjalankan hukum islam, ulama tersebut diantaranya adalah yusuf qordhowi. Beliau mengatakan bagi setiap mukalaf ( dewasa , berakal sehat, muslim ) diwajibkan menjalankan syari’at islam.
Pada dasarnya seseorang dikatakan berislam atau beriman adalah ketika seseorang itu tahu dan faham mengenai apa yang dikehendaki oleh syari’at. Dengan tingkat kedewasaan serta kemampuan akal yang sehat itulah setiap orang diharapkan dapat mangerti dan memahami sebuah nilai kebenaran.
Jika dikaitkan mengenai sebuah konsep ketauhidan ( peng-esa-an ) terhadap Alloh, maka ketaatan terhadap syari’at merupakan sebuah keharusan atau bahkan bernilai mutlak. Terkadang seseorang memaknai ibadah adalah sebuah rangkaian ritual semata, hanya meliputi ; sholat, haji, puasa dan zakat. Jikalau maksud syari’at demikian sudahlah barang tentu di dalam al qur’an hanya membahas mengenai 2 hal saja, yakni “Aqimus sholah, wa ‘atuz zakah” ( tegakkan sholat dan bayarlah zakat ). Dengan begitu maka cukuplah sholat dan zakat sebagai sebuah parameter orang yang beriman. Dalam hal ternyata Alloh berkehendak lain, sebuah keimanan atau status islam seseorang bukanlah hanya ditentukan dengan ritual semata akan tetapi para ulama salaf mengatakan dengan lisan serta keadaan jiwa yang terjaga bahwa iman adalah sebuah ucapan dan perbuatan. Pendapat lain mengatakan al – iman adalah I’ tiqot bil qolbi, wa ikrar bi lisan wa ‘amalun bi arkan ( berkata dalam hati, diucapkan dengan lisan dan di aplikasikan dengan perbuatan).
Sehingga rangkaian dari amalan hati dan amalan jawarih itulah yang kemudian seseorang dapat dinyatakan sebagai orang yang beriman. Pada makalah ini penulis hanya ingin sedikit membahas beberapa fenomena yang terjadi dikalangan kaum muslimin, yakni sebuah keadaan hati dimana sebenarnya dalam dirinya telah memenuhi syarat sebagai seorang mukalaf aka tetapi dirinya kurang sadar mengenai kewajibannya dalam bersyari’at serta membahas beberapa prinsip islam dalam hukum. Sehingga diharapkan setiap muslim dapat mengerti mengenai kewajiban yang ada dalam dirinya serta mengetahui secara praktis prinsip islam sebagai syari’at dalam kehidupan bermasyaraakat.
Taat kepada syariat merupakan bagian dari tauhid ‘uluhiyah.
Mengenai pengertian tauhid para ulama menjelaskan bahwa makna tauhid pada intinya adalah sebuah pengakuan dengan amalan hati maupun jawarih mengenai ke – esaan Alloh, baik meliputi Tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah maupun tauhid Asma’ wa sifat. Seperti diketahui bahwa tauhid adalah pondasi dari setiap muslim dalam ber-islam. Dengan pemahaman tauhid inilah sebenarnya seseorang akan dapat menjalankan syari’at islam dengan benar.
Pengertian dari tauhid Rububiyah adalah kata yang di nisbatkan kepada salah satu nama Alloh SWT yaitu; Robb,nama ini mempunyai beberapa arti, Antara lain : Al-murabbi (pemeliharaan) Al-Nashir (penolong) Al-Malik (pemilik), Al-Muhlih (yang memperbaiki), Al-Wali (wali), As-Sayyid (tuan).
Dalam terminologi syari’at Islam, Istilah Tauhid Rububiyyah berarti : Percaya sepenuh hati ,bahwa Alloh lah satu-satunya pemilik, pencipta, pengendali alam raya yang dengan takdirnya ia menghidupkan dan mematikan serta mengendalikan alam dengan sunah-sunahnya:“
Kemudian pengertian dari tauhid asma’ wa sifat adalah menetapkan nama – nama dan sifat – sifat yang Alloh SWT tetapkan atas dirinya dalam ( al – qur’an ) maupun yang rasululloh tetapkan dalam as – sunnah tanpa ; takhrif ( memalingkan ), ta’til ( menghilangkan ), takyif ( bertanya bagaimana ) dan tasybih ( menggambarkan ) atau tamsyil ( menyerupakan ).
Yang terakhir adalah tauhid Uluhiyah atau tauhid ibadah, tauhid inilah yang kemudian dapat dijadikan sebagai parameter apakah seseorang itu dapat dinyatakan kafir atau syirik keluar dari millah islam. Sebab inti dari sebuah penghambaan adalah pengamalan sebuah tauhid ibadah untuk melaksanakan setiap syari’atnya.
Pengertian dari tauhid Uluhiyah ini adalah mengesakan Alloh SWT dalam hal ibadah. Dalam memahami tauhid manusia tidak hanya berpedoman pada tauhid rubbubuyah atau sama’ wa sifat saja, jikalau hal itu terdapat pada seorang muslim maka tauhid mereka itu tak ubahnya seperti tauhid para iblis la’natulloh ‘alaih. Hal ini digambarkan oleh Alloh SWT dalam
Berkata iblis: "Ya Tuhanku, (kalau begitu) maka beri tangguhlah kepadaku sampai hari (manusia) dibangkitkan.
Perbuatan iblis yang digambarkan pada kitabnya tersebut jelas memberikan pemahaman kepada umat manusia bahwa iblis pun memiliki tauhid, yakni tauhid rubbubiyah. Iblis tidak akan berdoa kepada Alloh yang semacam jika tidak meyakini bahwa hanya Alloh yang dapat menghidupkan dan mematikan setiap makhluqnya.
Berdasarkan Al Qur’an diusirnya iblis dari surga adalah karena kesombongannya serta sebuah kesalahan yang fatal, yakni mencoba mengkoreksi syari’atnya Alloh. Hal ini juga digambarkan oleh Alloh dalam firman-Nya;
Allah berfirman: "Hai iblis, apa sebabnya kamu tidak (ikut sujud) bersama-sama mereka yang sujud itu?" . Berkata Iblis: "Aku sekali-kali tidak akan sujud kepada manusia yang Engkau telah menciptakannya dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk"
Allah berfirman: "Keluarlah dari surga, karena sesungguhnya kamu terkutuk, dan sesungguhnya kutukan itu tetap menimpamu sampai hari kiamat."( Q.S Al – Hijr 32 – 35 ).
Hal inilah yang kemudian dijadikan dasar para ulama dalam menghukumi setiap orang yang tidak mau berhukum kepada Syari’at Alloh SWT. Menurt pemahaman para ulama seorang muslim tidak dapat dihukumi kafir manakala seseorang itu tidak berakal sehat atau dalam keadaan Jahl ( bodoh ) yakni dia benar – benar tidak tahu bahwa apa yang dia lakukan itu adalah sebuah perbuatan yang mengandung madhorot atau mungkin dapat menjadikan mereka keluar dari millah islam serta apabila Hujjah belum sampai kepada mereka. Karena pada dasarnya setiap manusia yang lahir di dunia ini pada hakikatnya adalah islam, sedang yang menjadiakan nasrani, majusi atau yahudi adalah orang tuanya.
Kemudian kaitan antara Tauhid Uluhiyah ( menjalankan syari’at ) dengan hukum islam adalah bahwa inti dari tauhid Uluhiyah adalah ibadah, sedangkan mentaati perintah Alloh SWT adalah bagian dari ibadah, jadi manakala seorang muslim mentaati apa yang dikehendaki Alloh SWT secara otomatis dia telah melaksanakan ibadah dengan tauhid Uluhiyah dengan benar. [1] hal ini akan tercermin dari sikap berhukum, apakah kerelaan seorang muslim berhukum dengan hukum Alloh atau Hukum Thoghut. Kesalahan dalam berhukum akan berdampak sangat luar biasa kepada status pelaku yakni seorang musim tersebut. Bias jadi dia akan dihukumi kaffir kalau dalam hati benar – benar menolak tentang keberadaan atau pemberlakuan hukum islam. Hal ini tak ubahnya seperti kelakuan iblis yang menolak hukum atau ketetapan serta perintah Alloh SWT untuk menyembah kepada adam As. Akan tetapi apara ulama salaf meyatakan bahwa tiadak dihukumi kafir jika keadaan dalam hati mereka masih mengakui bahwa kemaslahatan akan dating dengan hukum islam serta dia ridho kepada hukum islam tersebut meskipun dia hidup di negeri yang memberlakukan hukum thoghut. Hal ini berkaitan dengan keterbatasan kemampuan seorang muslim jika berhadapan dengan pemerintah.
K E W E N A N G A
Dalam islam sebuah jabatan dinilai sebagai sebuah amanah yang akan dipertanggung jawabkan kelak di hari akhir yakni yaumul hisab. Sehingga memang sudah sewajarnya seorang muslim dengan iktikat baik dan niatan ibadah manakala ia diberi kepercayaan untuk menjadi seorang pemimpin, begitu juga bagi seorang muslim yang tidak dipilih oleh Alloh untuk menduduki sebuah amanah maka tidak sewajarnya dia berjuang dengan segala cara untuk mendapatkan jabatan tersebut. Hal ini pernah disampaikan oleh beliau Rasululloh SAW, beliau bersabda;
“Aku heran mengapa orang cenderung kepada kepemimpinan, padahal pertamanya adalah cela, kedua penyesalan dan ketiganya adalah adzab di hari akhir, kecuali mereka yang adil”
Perkataan rasulululloh tersebut juga ditegaskan lagi dalam hadist yang lain, yakni terkait dengan 7 golongan yang mendapat naungan dimana dihari yang tidak ada naungan lagi selain naungannya Alloh, mereka adalah ‘imamun ‘adil, wa syabun naa sya ‘a fii ‘ngibadatillahi ta’ala, wa rojulun qolbuhu mu’alaqun fii massajid,,dst….
Penekanan beberapa hadist di atas bermaksud bahwa seorang pemimpin harus dapat beralaku adil dan memperhatikan kepentingan serta kesejahteraan rakyatnya dengan memperhatikan setiap hak dari warganya. Sebagai pemimpin jika mereka adil, mereka berhak mendapatkan penghargaan dari warganya yakni seperti yang disebutkan Alloh dalam firman-Nya
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Ayat di atas menegaskan bahwa setiap muslim harus taat keapada alloh, Rosul dan ‘Ulil amri minkum ( prmimpin diantara Kalian ),hal ini dilakukan manakala pemimpin atau penguasa tersebut bersikap adil. Apakah adil itu, para ulama mengaatakan bahwa yang dimaksud dengan ‘Adil adalah wasymu syai’in ila makaani ( menempatkan sesuatu pada tempat yang semestinya ).
Maksudnya adalah seorang pemimpin itu harus meletakkan segala bentuk konstitusi atau yang semacamnya dengan berdasarkan kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Kemudian bagaimana jika seorang pemimpin menjalankan pemerintaahan dan mendapatkan jabaatan sebagai seorang pemimpin dengan tidak berdasar pada Al – qur’an dan Sunnah?
Dalam menyikapi keadaan seperti ini maka ada kaidah, jika menurut ilmu hukum positif disebut sebagai asas lex specialist derogate lex generalis ( aturan yang bersifat umum dikesampingkan oleh aturan yang bersifat khusus). Peraturan yang bersifat khusus tersebut adalah hadist dari rasululloh SAW riwayat Muslim ; beliau bersabda
Tiada ketaatan kepada makhluk dalam berbuat maksiat kepada Alloh.
Hal ini juga ditegaskan lagi oleh hadis riwayat Muslim;
Dari Ubaidah Bin Shamit Ra, Rosululloh SAW memanggil Kami lalu kami berbai’at kepadanya untuk mendengar dan taat baik dalam keadaan senang maupun tidak senang, baik dalam keadaan susah maupun mudah dan baik pemimpin itu lebih mengutamakan dirinya dan agar kami tidak menggulingkan penguasa dari kekuasaannya,”Beliau bersabda; Kecuali jika kalian melihat kekafiran yang nyata yang kalian mempunyai alas an dari Alloh”.
